TV Digital,Antara Keuntungan dan Kepentingan
Bagi sebagian masyarakat tentu kenal dengan yang namanya TV berlangganan, katakanlah seperti Indovision, Telkomvision, First Media, dan lain-lainnya. Hampir semua layanan TV berlangganan tersebut memerlukan alat tambahan yang dinamakan decoder,yang berfungsi agar sinyal yang ditransmisikan secara digital melalui satelit atau kabel, bahkan melalui terestrial (seperti Next Media) bisa terbaca dengan pesawat televisi di rumah. Bisa dikatakan bahwa layanan TV berlangganan juga menggunakan format TV digital.
Namun yang sering menjadi topik hangat media tentang TV digital adalah TV siaran yang sifatnya free-to-air alias gratis tanpa perlu berlangganan seperti siaran TV yang kita terima melalui antena di rumah. Meskipun dirindukan oleh banyak orang,kehadiran TV digital ini cukup meresahkan berbagai pihak.Hal ini tentunya tak lepas dari kepentingan dan latar belakang masing-masing pihak tersebut.
TV digital akan memberikan keuntungan di banyak pihak. Seperti masyarakat akan diuntungkan dengan kualitas gambar dan suara setara DVD dan pilihan saluran yang lebih banyak, Lembaga Penyiaran akan diuntungkan dengan biaya operasional yang rendah (karena hemat listrik), industri konten/kreatif akan mendapatkan job lebih banyak,industri perangkat memiliki peluang besar dalam memproduksi alat bantu penerima siaran (set-top-box) dan Pemerintah sendiri akan mendapatkan sisa spektrum frekuensi radio yang dikenal dengan istilah digital dividen yang dapat digunakan untuk kepentingan lainnya.
Tapi semua keuntungan tersebut bisa diabaikan ketika kepentingan menjadi alat utama untuk mengambil keputusan.Loh kok bisa ? Pada kasus lain yang bisa dijadikan contoh adalah yang terjadi pada kebijakan Pemerintah untuk melakukan konversi minyak tanah menjadi gas .Dengan segala keuntungan menggunakan gas, namun dalam pelaksanaannya sangatlah tidak mudah. Isu distribusi tabung gas, isu kebakaran,isu keamanan tabung gas secara perlahan-lahan telah dilewati, dan pada akhirnya secara perlahan penggunaan minyak tanah mulai ditinggalkan ketika ketersediaannya menjadi langka.
Setidaknya yang terjadi sewaktu konversi ke gas bisa juga terjadi ketika migrasi dari tv analog ke tv digital. Perbedaannya pada tv digital akan mengusik bisnis yang selama ini dilakukan oleh Lembaga Penyiaran Swasta (LPS). Usikannya sangat bergantung dari kepentingan masing-masing LPS tersebut. Faktanya LPS sebagai pelaku di bidang industri media sangatlah mudah untuk menaikkan status sebuah wacana dari biasa-biasa saja menjadi penting bahkan hingga meresahkan.
Selama ini, bisnis penyiaran TV free-to-air mendapatkan pemasukan melalui iklan komersial, berbeda dari TV berlangganan yang mendapatkan incomenya dari biaya langganan yang dibayar pelanggan setiap bulannya.Diperkirakan saat ini uang yang beredar di iklan media elektronik (TV dan radio) mencapai Rp. 40 triliun, sebuah jumlah yang fantastis.
Kehadiran TV digital diperkirakan tidak akan memperbesar kue iklan, namun justru akan memperbanyak jumlah saluran, yang artinya menambah jumlah pemain/player. Dampaknya, kue iklan yang dulu hanya dikuasai sekelompok pemain terpaksa di era digital harus juga dibuka kepada pemain baru.Di era analog,penambahan pemain baru tidak dimungkinkan karena keterbatasan saluran frekuensi.Hal inilah yang membuat resah beberapa pemain karena adanya potensi ancaman terhadap pasar yang ada.
TV digital akan memberikan keuntungan di banyak pihak. Seperti masyarakat akan diuntungkan dengan kualitas gambar dan suara setara DVD dan pilihan saluran yang lebih banyak, Lembaga Penyiaran akan diuntungkan dengan biaya operasional yang rendah (karena hemat listrik), industri konten/kreatif akan mendapatkan job lebih banyak,industri perangkat memiliki peluang besar dalam memproduksi alat bantu penerima siaran (set-top-box) dan Pemerintah sendiri akan mendapatkan sisa spektrum frekuensi radio yang dikenal dengan istilah digital dividen yang dapat digunakan untuk kepentingan lainnya.
Tapi semua keuntungan tersebut bisa diabaikan ketika kepentingan menjadi alat utama untuk mengambil keputusan.Loh kok bisa ? Pada kasus lain yang bisa dijadikan contoh adalah yang terjadi pada kebijakan Pemerintah untuk melakukan konversi minyak tanah menjadi gas .Dengan segala keuntungan menggunakan gas, namun dalam pelaksanaannya sangatlah tidak mudah. Isu distribusi tabung gas, isu kebakaran,isu keamanan tabung gas secara perlahan-lahan telah dilewati, dan pada akhirnya secara perlahan penggunaan minyak tanah mulai ditinggalkan ketika ketersediaannya menjadi langka.
Setidaknya yang terjadi sewaktu konversi ke gas bisa juga terjadi ketika migrasi dari tv analog ke tv digital. Perbedaannya pada tv digital akan mengusik bisnis yang selama ini dilakukan oleh Lembaga Penyiaran Swasta (LPS). Usikannya sangat bergantung dari kepentingan masing-masing LPS tersebut. Faktanya LPS sebagai pelaku di bidang industri media sangatlah mudah untuk menaikkan status sebuah wacana dari biasa-biasa saja menjadi penting bahkan hingga meresahkan.
Selama ini, bisnis penyiaran TV free-to-air mendapatkan pemasukan melalui iklan komersial, berbeda dari TV berlangganan yang mendapatkan incomenya dari biaya langganan yang dibayar pelanggan setiap bulannya.Diperkirakan saat ini uang yang beredar di iklan media elektronik (TV dan radio) mencapai Rp. 40 triliun, sebuah jumlah yang fantastis.
Kehadiran TV digital diperkirakan tidak akan memperbesar kue iklan, namun justru akan memperbanyak jumlah saluran, yang artinya menambah jumlah pemain/player. Dampaknya, kue iklan yang dulu hanya dikuasai sekelompok pemain terpaksa di era digital harus juga dibuka kepada pemain baru.Di era analog,penambahan pemain baru tidak dimungkinkan karena keterbatasan saluran frekuensi.Hal inilah yang membuat resah beberapa pemain karena adanya potensi ancaman terhadap pasar yang ada.
Geen opmerkings nie:
Plaas 'n opmerking